Pengalaman Merespon Kasus dan Melaksanakan
Program Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan
Oleh : DR. Tetty Rismiati, Jaringan Relawan Independen
Yayasan Jaringan relawan independen telah melakukan pendampingan terhadap korban kekerasan sejak th 2003, saat ini rata rata ada 100 kasus setiap tahun yg dilayani. Korban terbanyak perempuan dan anak, dalam tahun tahun terakhir terjadi peningkatan korban anak secara nyata. Sejak tahun 2011 disamping pendampingan kasus, yayasan JaRI mengembangkan upaya pencegahan dimulai dengan pembuatan brosur dan saat ini tengah mengembangkan alat bantu edukatif bagi remaja awal. Pemilihan calon legislatif pada tahun 2019 bisa menjadi peluang untuk memperkuat dukungan bagi pecegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Pada awalnya kasus yg banyak meminta pertolongan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga, namun dalam tahun tahun terakhir kasus pelecehan seksual di kalangan anak anak meningkat secara bermakna. Ada berbagai kasus yg pernah ditangani baik dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap anak dan kekerasan oleh anak terhadap anak.
Korban yg ditangani pada umumnya dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, karena JaRI samasekali tidak meminta bayaran dari klien. Dalam laporan JaRI tahun 2017, kasus yg ditangani adalah 74,selesai ditangani oleh dokter atau psikolog 80 persen. Jenis kasus : kekerasan seksual 55% (salah seksual anak 43%, dalam rumah tangga 12%), kekerasan terhadap istri 30% , kekerasan fisik 91% dan kekerasan ekonomi 17.5%.
Sebagian besar kasus datang ke JaRI melalui hotline service, disamping Itu dari website, datang langsung, rujukan dari LSM mitra atau dari Polisi. Selama ini penanganan korban yg dapat dilakukan JaRI lebih banyak penanganan fase kronis (kejadian telah berlangsung lebih dari tiga bulan). Hal ini disebabkan korban biasanya tidak segera mencari pertolongan, karena : Merasa ternoda, kehilangan harapan hidup, tidak tahu kepada siapa harus menceritakan kejadiannya. Biasanya korban merasa malu,menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna, kuatir akan dinilai buruk oleh lingkungan (dianggap sebagai anak/perempuan nakal, murahan, mudah tergoda, atau korban yg menggoda). Korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) biasanya juga tidak. Segera mencari pertolongan karena menganggap bahwa kekerasan dari suami itu adalah sesuatu yg tidak boleh diketahui oleh orang lain.
Dalam pelayanan yg telah dilaksanakan selama ini ada beberapa kisah sukses, yg paling mengesankan adalah kasus seorang gadis yg mengalami perkosaan oleh beberapa orang, dan ditinggalkan di tepi jalan. Dengan bantuan orang yg merasa kasihan, korban kekerasan ini sampai ke pelayanan JaRI. Korban mengalami regresi sehingga dia berada seperti anak 3 tahun, dan ia hamil. Dengan pendampingan korban berangsur pulih, dan anak yg lahir diserahkan untuk adopsi. Korban selanjutnya kembali ke rumah keluarganya, melanjutkan kuliah dan berkeluarga.
Keberhasilan dari program pencegahan kekerasan yg dialami JaRI adalah seorang asisten rumah tangga yg menemukan brosur pencegahan kekerasan JaRI. Dia bisa memotivasi anak perempuannya untuk melanjutkan sekolah ke SMK, dan membantu ponakan yg mengalami pelecehan seksual dan menghadapkan kasus ke pengadilan.
Dalam pelayanan pada korban JaRI mendapat kesulitan untuk rehabilitasi penuh, mengingat daya dukung ditengah masyarakat yg terbatas, lebih lebih bagi mereka yg kurang mampu. Sejauh mungkin korban didampingi seandainya mereka mau membawa kasusnya ke pengadilan. Namun karena berbagai keterbatasan, seringkali korban terpaksa kembali serumah dengan pelaku, disamping juga belum ada pelayanan rehabilitasi bagi pelaku.
Dibagian hulu dari kekerasan terhadap perempuan adalah budaya patriarki. Secara harafiah Patriarki artinya “aturan dari sang Bapak “ berasal dari Yunani kuno. Banyak jabaran yg berbeda beda tentang sejauh mana dan sekuat apa pengaruhnya. Secara sederhana Patriarki artinya struktur masyarakat yg berdasar pada kelebihan laki laki dan dilaksanakan dengan mengorbankan perempuan. Istilah ini belakangan muncul kembali sebagai perlawanan para aktivis terhadap kecenderungan dunia “yang bergeser kekanan” .
Bagi banyak orang kelebihan laki laki sangat “alamiah” dan meyakinkan, karena mereka yg menciptakan hukum , sajak, kitab suci, sang filosof, sejarah, buku buku ilmiah, sebagian besar ditulis oleh laki laki. Dengan kacamata patriarki misalnya kita bisa melihat bagaimana perempuan yg cerdas, berhasil dan asertif, tidak bisa meninggalkan laki laki yg merendahkan mereka dan memantau setiap langkah mereka. Perempuan yg berpikir dan bersikap setara, seringkali dianggap “tidak tahu diri”. Tentu keadaan ini menghambat proses demokrasi yg diharapkan, dimana setiap orang diharapkan berkontribusi bagi masyarakat .
Apa yg perlu dilakukan agar masyarakat Indonesia memiliki persepsi bahwa perempuan setara dengan laki laki, dan budaya patriarki akan merugikan seluruh masyarakat? Siapa yg bisa melakukan intervensi di “hulu”?. Jawaban yg diharapkan adalah meningkatnya jumlah dan kualitas perempuan yg masuk ke lembaga eksekutif, legislatif, serta aktif di masyarakat luas. Secara umum dianjurkan agar :
- Keluarga dan masyarakat mulai menerapkan kesetaraan gender dalam pola asuh. Perempuan dan laki laki menjadi mitra setara di keluarga dan masyarakat.
- Menyadarkan semua pihak bahwa kesetaraan gender akan menguntungkan semua, keluarga, komunitas dan masyarakat.
Partisipasi perempuan dalam kepemimpinan sangat penting untuk memastikan pengambilan keputusan dan dampaknya bagi publik. Menghadapi pemilu mendatang ini merupakan peluang untuk memilih wakil rakyat yg bisa mewakili kepentingan seluruh masyarakat.