Kartini, Perkawinan dan Perjuangan Kesetaraan
Oleh : Ilsa Nelwan
Jaringan Relawan Independen
Pada tahun 2015 terbit buku terbaru dari Dr Joost Cote, seorang sejarawan yang meneliti semua tulisan Kartini dari Monash University berjudul “Kartini the complete writings 1898-1904”. Buku itu seluruhnya 840 halaman meliputi 141 surat Kartini 1899-1904; 4 cerita pendek dipublikasikan 1903-1904;2 karya Ilmiah dipublikasikan th 1899 dan 1914;4 artikel panjang yang tidak dipublikasikan disebut “memoranda”: 1 autobiografi , 2.deskripsi perkawinan jawa, 3.Pentingnya pendidikan dan pelatihan; 4.katalog daftar buku pada perpustakaan Kartini.
Menurut Cote Kartini merintis dan mendengungkan paham kebangsaan sebelum belanda menetapkan kontrol atas kepulauan Indonesia. Surat suratnya yang ditujukan pada orang2 berpengaruh utamanya Rosa Abendanon dan Stella Zeehandellar adalah upaya strategis unuk memengaruhi pemikiran orang Belanda yang pada saat itu mengarah pada “politik Etis”.
Dalam salah satu buku Cote Letters from Kartini yang terbit tahun 1992 terlihat bahwa perkawinan adalah satu fokus pemikiran Kartini. Namun ia membahas uraian, latar belakang tradisi, sosial, ekonomi, budaya, dan tidak langsung pada soal perkawinan itu sendiri. Kartini anti poligami karena ia saksikan penderitaan perempuan akibat poligami, karena itu banyak yang mempertanyakan keputusannya untuk menikah dengan laki laki yang jauh lebih tua dan sudah punya istri tiga.Ternyata keputusan itu didasari oleh cinta, bukan pada calon suaminya tetapi pada Ayahnya. Kartini tahu pernikahannya akan membahagiakan Ayahnya yang sakit sakitan.
Perkawinan
Pada suatu hari Kartini yang berteman dengan anak anak Belanda, pulang sekolah bertanya “Ayah kalau sudah besar nanti aku jadi apa?” Ayahnya menjawab dengan halus “kamu akan jadi Raden Ayu”, artinya dia akan menjadi istri bangsawan. Kemudian ia menganggap bahwa perkawinan yang tradisional itu adalah fakta yang harus ia terima.
Perkawinan dalam budaya Indonesia sampai saat ini masih menjadi “cetak biru” kehidupan seorang perempuan. Perkawinan meningkatkan martabat seorang perempuan di masyarakat, namun konsekwensi perkawinan lebih memberatkan perempuan akibat nilai yang berlaku di masyarakat tentang peran gender.
Data nasional tahun 2015 mengungkapkan bahwa 23 persen diantara perempuan berumur 20-24 di Indonesia telah menikah dibawah umur 18 tahun. Jaringan Relawan Independen melakukan studi kecil di KUA Kecamatan Ngamprah pada tahun 2018 dengan hasil : Hampir 15 persen diantara 3.289 pasangan menikah di Kecamatan Ngamprah dalam tahun 2015-2017 berumur kurang dari 18 tahun. Sementara Undang undang menyatakan bahwa batasan anak adalah sampai 18 tahun. Dengan perkataan lain perkawinan anak yang merugikan bagi Ibu maupun bayinya, dibenarkan oleh hukum.
Perjuangan kesetaraan gender
Mempromosikan kesetaraan gender sangat jelas alasannya. Perempuan yang merupakan 50 persen penduduk berhak mendapat peluang yang setara untuk akses pada kesehatan, pendidikan, partisipasi ekonomi, dan pengambilan keputusan politik. Dalam Laporan kesenjangan gender global tahun 2018 Indonesia berada di ranking ke 85 diantara 149 negara dengan nilai 0.691. Kelemahan yang mencolok adalah di bidang ekonomi, dan politik khususnya partisipasi perempuan di DPR. Tanpa intervensi khusus kesenjangan gender akan menjadi hambatan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Hampir 140 tahun setelah Kartini meninggal masih kita baca, dengar dan lihat begitu banyak kekerasan dengan korban utamanya perempuan dan anak perempuan, akibat kesenjangan gender. Namun perkembangan positifnya adalah meningkatnya pelaporan kasus kekerasan, juga munculnya pelatihan tentang kekerasan seksual di sektor publik.
Langkah konkrit
Pola asuh : Dalam keluarga perlu dikembangkan pola asuh dengan kesetaraan. Anak perempuan dan laki laki perlu belajar dari relasi kedua orang tuanya yang berbagi peran dengan setara. Anak perempuan maupun laki laki dididik untuk mandiri sesuai bakat dan potensinya, juga untuk menjadi bagian dari komunitas dan masyarakat luas. Dengan dasar ini, di hari esok partisipasi politik perempuan diharapkan akan meningkat.
Pendidikan formal : Di sekolah dikembangkan pendidikan berdasarkan kesetaraan, pemahaman tentang apa makna menjadi perempuan dan laki laki dan bagaimana menghargai diri dan orang lain.
Menjembatani kesenjangan gender bisa dillakukan melalui perencanaan pembangunan sumber daya manusia dengan peluang lebih besar bagi perempuan untuk mendapat pendidikan keahlian yang selama ini didominasi laki laki. Misalnya mendidik perempuan agar menjadi tenaga terampil di bidang piranti lunak, manufaktur dan pertambangan.
Rancangan UU penghapuan kekerasan seksual perlu segera diundangkan dan diterapkan melalui aturan pelaksanaannya.
Tidak kurang pentingnya adalah teladan dan pendapat para pemimpin utamanya tentang peran perempuan dan laki laki itu sendiri, misalnya konsep perempuan bertugas dirumah dan laki laki mencari nafkah bukanlah satu satunya pilihan bagi perempuan.
Hari Kartini menjadi kesempatan untuk refleksi bahwa cita citanya tentang kesejahteraan masyarakat akan meningkat secara bermakna, bila kesenjangan gender bisa dijembatani secara sistematis dan diperjuangkan bersama.